Calon presiden yang juga Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo atau Jokowi. |
"Makanya disinyalir ada pembiaran, harusnya gubernur sebagai penanggung jawab pengelolaan anggaran dapat bertindak tegas dan memerintahkan jajaran di bawahnya," kata Uchok, kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (23/4/2014).
Ia menjelaskan, penemuan mata anggaran ganda ini bukanlah yang pertama kali terjadi di APBD 2014. Pada anggaran-anggaran sebelumnya, juga ditemukan perihal yang sama. Seharusnya, menurut dia, Jokowi beserta Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dapat memerintahkan Inspektorat DKI untuk menyelidiki dan menelusuri banyaknya temuan mata anggaran ganda tersebut.
Meski demikian, ia mengapresiasi langkah Jokowi-Basuki untuk menerapkan sistem elektronik e-budgeting dalam APBD 2014. Ia berharap, melalui e-budgeting dapat membuat efek takut pada SKPD dan UKPD untuk tidak "bermain-main" dalam perumusan anggaran. Namun, mata anggaran ganda kembali ditemukan. Bahkan, jumlahnya mencapai Rp 1,8 triliun dari total anggaran Rp 72 triliun. Banyaknya mata anggaran ganda yang muncul ini mengindikasikan tindak pidana korupsi.
"Korupsi itu tidak hanya terjadi kalau ada kerugian negara saja, tapi bisa ditemukan walaupun anggarannya belum digunakan. Ini membuktikan Jokowi tidak mengerti Undang-undang," kata Uchok.
Ia menduga, ada oknum yang sengaja memasukkan anggaran ganda untuk menggunakannya sebagai kepentingan tertentu. Oknum itu dapat datang dari legislatif maupun eksekutif. Apabila Pemprov DKI tidak menerapkan sistem e-budgeting dan mengunci anggaran-anggaran ganda dalam APBD 2014, maka ia menengarai akan ada "penguapan" anggaran.
Seharusnya, dalam merumuskan anggaran, kata Uchok, DKI dapat mengganteng lembaga audit keuangan untuk mendampingi Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI.
"Kembali lagi, semua ini harus sesuai izin gubernur. Kalau tidak didampingi, ya peristiwa serupa akan terus terjadi," kata Uchok.
Anggaran ganda ditemukan pada Dinas Pekerjaan Umum dengan Dinas Perumahan Gedung Pemda DKI, Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dengan Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B), Dinas Pendidikan, dan lainnya. Duplikasi anggaran itu terjadi karena masing-masing SKPD maupun unit kerja perangkat daerah (UKPD) tidak memiliki perancangan yang baik serta tidak berkoordinasi dengan baik satu sama lainnya.
Untuk mengantisipasi adanya penggelembungan anggaran dan kerugian negara, Pemprov DKI mulai menerapkan sistem e-budgeting mulai tahun ini. Meskipun demikian, satu risikonya adalah tingginya Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa) 2014.
Sumber: Kompas
Penulis | : Ana Shofiana Syatiri |
Editor | : Ana Shofiana Syatiri |
No comments:
Post a Comment