- Sejak Pemilu Legislatif 9 April 2014 lalu, bakal calon presiden PDI Perjuangan Joko Widodo selalu menyebut kerja sama politik yang bakal dijalankan dengan parpol lain -jika terpilih jadi presiden- tidak berujung pada bagi-bagi kursi. Dengan kondisi politik Indonesia saat ini, mungkinkah itu terjadi?
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berpendapat, janji Jokowi itu sangat mungkin terealisasi. Menurutnya, sepanjang sejarah kekuasaan di Indonesia, khususnya pascareformasi, seluruh parpol lebih menonjolkan transaksional dan bagi-bagi kursi ketimbang pembagian tugas pemerintahan.
"Bila kerja sama poltik seperti itu, yang terlihat memang menjadi motivasi siapa mendapatkan apa. Who gets what, how and when," ujar Siti kepada Kompas.com, Minggu (20/4/2014).
Lingkaran koalisi parpol penguasa, lanjut Siti, kerap tersandera kepentingan elit parpol. Menteri-menteri diisi oleh para petinggi parpol. Latar belakang menteri dengan instansi yang dipegang kerap 'enggak nyambung', sehingga ujung-ujungnya pengabdian terhadap kebutuhan masyarakat luas tidak terwujud lantaran para elit sibuk dengan kepentingannya masing-masing.
Siti mengatakan, janji Jokowi merupakan angin segar bagi dunia birokrasi di politik nasional. Koalisi tanpa bagi-bagi kursi, tutur Siti, memungkinkan pembagian kerja dan tugas yang profesional di jajaran kabinet. Apalagi, Jokowi pernah mengatakan bahwa kursi menteri di pemerintahan bakal diisi lebih banyak profesional ketimbang ketua-ketua partai politik, seperti yang kini terjadi.
Awas pembelot
Kendati demikian, Siti mengatakan bahwa kabinet kerja itu bukannya tanpa ancaman gangguan. Pembelotan anggota koalisi di tengah jalan demi meraup keuntungan pribadi atau partai politik masing-masing, sangat mungkin terjadi. Tak mudah, lanjut Siti, mengubah wajah politik di Indonesia yang dikenal cenderung transaksional.
"Seperti yang sudah-sudah, kerja sama antar partai senantiasa dilandasi oleh iming-iming keuntungan dengan menduduki jabatan strategis tertentu yang bisa menghasilkan profit," ujarnya.
Oleh sebab itu, Siti menyarankan, PDI Perjuangan lebih berhati-hati menjajaki kerja sama politik alias koalisi dengan sejumlah partai politik lain. Hambatan pembelotan di tengah jalan, kata dia, dapat diminimalisasi sehingga kabinet kerja bekerja efektif.
Koalisi ala Jokowi
Joko Widodo mengatakan, jika dia terpilih menjadi presiden, tak ingin pemerintahannya tersandera koalisi partai politik. Dia ingin agar komposisi kabinet bukan diisi oleh hasil koalisi bagi-bagi kursi, melainkan orang yang kredibel di bidangnya.
"Kita ingin membangun kabinet kerja, bukan kabinet politik. Saya akan ngotot untuk bangun kabinet kerja. Beban masalah kita di Indonesia berat. Saya ndak ingin menteri nanti sibuk urus partai," tegas Jokowi.
Menurut Jokowi, percuma mengembangkan 'koalisi gemuk' tapi ujung-ujungnya membebani si penguasa pemerintahan dengan bagi-bagi kursi tadi. Jokowi kemudian mencontohkan kerja sama dengan Nasional Demokrat yang sama sekali tidak menyunggung soal kursi menteri atau calon wakil presiden sebagai pendamping.
"Saya ngomong apa adanya, ketemu Pak Surya Paloh kemarin,ndak ada satupun soal cawapres atau menteri. Saya cerita aja apa yang mau saya lakukan, salaman, sudah, selesai," ujarnya.
"Kalau Nasdem satu saja cukup, ya sudah. Kita itu harus punya keberanian untuk melakukan itu. Kalau ndak ya kita begini terus. Bagi-bagi kursi," kata pria yang suka blusukan ini.
Jokowi sadar, strategi politik itu mengandung banyak risiko. Jika gabungan PDI-P dengan Nasdem hanya ada 25 persen saja, kemungkinan besar akan jadi musuh bersama para parpol lain. Namun, lagi-lagi Jokowi mengaku tidak gentar. Berkaca dalam peta koalisi PDI-P dan Gerindra di Jakarta yang hanya 17 persen suara, program unggulannya tetap berjalan.
"APBD jadi mundur ya itu konsekuensi saja. Tapi nyatanya kan program-program tetap berjalan. Itu saja. Kalau di-back uprakyat dan media, saya tidak takut," ujarnya.
Sumber: Kompas
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berpendapat, janji Jokowi itu sangat mungkin terealisasi. Menurutnya, sepanjang sejarah kekuasaan di Indonesia, khususnya pascareformasi, seluruh parpol lebih menonjolkan transaksional dan bagi-bagi kursi ketimbang pembagian tugas pemerintahan.
"Bila kerja sama poltik seperti itu, yang terlihat memang menjadi motivasi siapa mendapatkan apa. Who gets what, how and when," ujar Siti kepada Kompas.com, Minggu (20/4/2014).
Lingkaran koalisi parpol penguasa, lanjut Siti, kerap tersandera kepentingan elit parpol. Menteri-menteri diisi oleh para petinggi parpol. Latar belakang menteri dengan instansi yang dipegang kerap 'enggak nyambung', sehingga ujung-ujungnya pengabdian terhadap kebutuhan masyarakat luas tidak terwujud lantaran para elit sibuk dengan kepentingannya masing-masing.
Siti mengatakan, janji Jokowi merupakan angin segar bagi dunia birokrasi di politik nasional. Koalisi tanpa bagi-bagi kursi, tutur Siti, memungkinkan pembagian kerja dan tugas yang profesional di jajaran kabinet. Apalagi, Jokowi pernah mengatakan bahwa kursi menteri di pemerintahan bakal diisi lebih banyak profesional ketimbang ketua-ketua partai politik, seperti yang kini terjadi.
Awas pembelot
Kendati demikian, Siti mengatakan bahwa kabinet kerja itu bukannya tanpa ancaman gangguan. Pembelotan anggota koalisi di tengah jalan demi meraup keuntungan pribadi atau partai politik masing-masing, sangat mungkin terjadi. Tak mudah, lanjut Siti, mengubah wajah politik di Indonesia yang dikenal cenderung transaksional.
"Seperti yang sudah-sudah, kerja sama antar partai senantiasa dilandasi oleh iming-iming keuntungan dengan menduduki jabatan strategis tertentu yang bisa menghasilkan profit," ujarnya.
Oleh sebab itu, Siti menyarankan, PDI Perjuangan lebih berhati-hati menjajaki kerja sama politik alias koalisi dengan sejumlah partai politik lain. Hambatan pembelotan di tengah jalan, kata dia, dapat diminimalisasi sehingga kabinet kerja bekerja efektif.
Koalisi ala Jokowi
Joko Widodo mengatakan, jika dia terpilih menjadi presiden, tak ingin pemerintahannya tersandera koalisi partai politik. Dia ingin agar komposisi kabinet bukan diisi oleh hasil koalisi bagi-bagi kursi, melainkan orang yang kredibel di bidangnya.
"Kita ingin membangun kabinet kerja, bukan kabinet politik. Saya akan ngotot untuk bangun kabinet kerja. Beban masalah kita di Indonesia berat. Saya ndak ingin menteri nanti sibuk urus partai," tegas Jokowi.
Menurut Jokowi, percuma mengembangkan 'koalisi gemuk' tapi ujung-ujungnya membebani si penguasa pemerintahan dengan bagi-bagi kursi tadi. Jokowi kemudian mencontohkan kerja sama dengan Nasional Demokrat yang sama sekali tidak menyunggung soal kursi menteri atau calon wakil presiden sebagai pendamping.
"Saya ngomong apa adanya, ketemu Pak Surya Paloh kemarin,ndak ada satupun soal cawapres atau menteri. Saya cerita aja apa yang mau saya lakukan, salaman, sudah, selesai," ujarnya.
"Kalau Nasdem satu saja cukup, ya sudah. Kita itu harus punya keberanian untuk melakukan itu. Kalau ndak ya kita begini terus. Bagi-bagi kursi," kata pria yang suka blusukan ini.
Jokowi sadar, strategi politik itu mengandung banyak risiko. Jika gabungan PDI-P dengan Nasdem hanya ada 25 persen saja, kemungkinan besar akan jadi musuh bersama para parpol lain. Namun, lagi-lagi Jokowi mengaku tidak gentar. Berkaca dalam peta koalisi PDI-P dan Gerindra di Jakarta yang hanya 17 persen suara, program unggulannya tetap berjalan.
"APBD jadi mundur ya itu konsekuensi saja. Tapi nyatanya kan program-program tetap berjalan. Itu saja. Kalau di-back uprakyat dan media, saya tidak takut," ujarnya.
Sumber: Kompas
Penulis | : Fabian Januarius Kuwado |
Editor | : Ana Shofiana Syatiri |
No comments:
Post a Comment